Seorang pemuda yang mencari makna hidup | episode 3 (Cahaya dalam kesunyian)
Malam itu, setelah menolak ajakan Farhan, Rayhan merasa lega sekaligus sedikit gelisah. Ia sadar bahwa perubahan tidak selalu diterima dengan baik oleh orang-orang di sekitarnya. Namun, ia juga mulai memahami bahwa perjalanan spiritual adalah pilihan yang harus dijalani dengan keteguhan hati.
Keesokan harinya, Rayhan memutuskan untuk pergi ke masjid untuk shalat Subuh berjamaah. Ini adalah pertama kalinya ia melakukan hal itu sejak bertahun-tahun. Langkahnya ragu-ragu, namun ada dorongan dalam hatinya yang membuatnya terus berjalan. Saat tiba di masjid, ia melihat beberapa pria tua sudah duduk berzikir, menunggu iqamah dikumandangkan. Ada ketenangan yang terpancar dari wajah mereka, sesuatu yang selama ini sulit ia temukan dalam kesibukan hidupnya.
Ketika shalat dimulai, Rayhan mencoba berkonsentrasi. Ia mengikuti gerakan imam dengan saksama, berusaha untuk lebih khusyuk. Saat sujud, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Ada ketenangan yang meresap dalam dirinya, sesuatu yang selama ini tak pernah ia sadari keberadaannya. Seolah-olah, dalam sujudnya, ia benar-benar berbicara kepada Allah.
Setelah shalat, Rayhan duduk di salah satu sudut masjid, memperhatikan sekeliling. Seorang pria tua dengan janggut putih menyapanya dengan senyum ramah. "Anak muda, sudah lama ikut Subuh berjamaah di sini?"
Rayhan tersenyum kikuk. "Ini pertama kalinya, Pak."
Pria tua itu mengangguk penuh pengertian. "Bagus, Nak. Setiap langkah menuju kebaikan itu bernilai di sisi Allah. Teruskanlah. Kadang perjalanan ini terasa sepi, tapi percayalah, Allah selalu ada bersamamu."
Rayhan terdiam. Kata-kata itu menyentuh hatinya. Ia sadar bahwa perubahan ini memang bukan hal yang mudah. Tapi jika Allah selalu bersamanya, mengapa ia harus takut?
Pria tua itu melanjutkan, "Dulu, saya juga mengalami masa-masa sulit. Saya menghabiskan banyak waktu dalam kesenangan dunia hingga lupa bahwa hidup ini ada akhirnya. Tapi, Allah masih memberi saya kesempatan untuk kembali. Dan sekarang, saya ingin menghabiskan sisa hidup saya untuk lebih dekat dengan-Nya. Nak, usia muda adalah masa terbaik untuk beribadah. Jangan sia-siakan."
Rayhan mengangguk pelan. "Terima kasih, Pak. Saya masih belajar…"
"Belajar adalah langkah pertama. Jangan berhenti. Sebab, setiap langkah mendekatkanmu kepada-Nya."
Setelah berbincang sejenak, pria tua itu bangkit dan meninggalkan masjid. Rayhan tetap duduk, merenungi percakapan tadi. Ia mulai menyadari bahwa selama ini, ia mencari kebahagiaan di tempat yang salah. Ia pikir kebahagiaan datang dari kesuksesan, uang, atau hubungan sosial. Tapi pagi ini, ia merasakan kebahagiaan yang berbeda—kebahagiaan yang datang dari hati yang lebih tenang dan damai.
Saat ia keluar dari masjid, sinar matahari pagi mulai menyinari langit. Udara terasa lebih segar, dan hatinya lebih ringan. Untuk pertama kalinya, ia merasakan kedamaian yang tidak pernah ia dapatkan dari harta, kesenangan, atau teman-temannya dulu.
Hari itu, Rayhan kembali ke rutinitasnya, tetapi dengan semangat baru. Ia mulai lebih memperhatikan pekerjaannya, mencoba menjadi pribadi yang lebih baik, dan tidak lagi merasa kehilangan meski beberapa temannya mulai menjauh.
Namun, perjalanan ini masih panjang. Masih banyak hal yang harus ia pelajari, dan mungkin masih banyak ujian yang harus ia hadapi. Tapi kini, ia tak lagi merasa sendirian.
Saat malam tiba, Rayhan duduk di kamarnya, membuka mushaf kecil pemberian Hafiz. Ia membaca satu ayat yang membuat hatinya kembali bergetar:
"Maka barang siapa yang Allah kehendaki untuk diberi petunjuk, niscaya Dia akan melapangkan dadanya untuk (menerima) Islam..." (QS. Al-An’am: 125)
Ia tersenyum kecil. Mungkin inilah awal dari hidayah itu. Mungkin inilah langkah pertamanya menuju hidup yang lebih bermakna.
Ramadhan masih berjalan, dan perlahan, ia mulai menemukan arti sejati dari bulan suci ini…
Baca juga episode sebelumnya...

Komentar
Posting Komentar